Punya Anak yang Pindah Agama, Apa Bisa Dapat Warisan?

Sep 25, 2024 at 6:45 AM

Perubahan Agama Anak: Dampaknya Terhadap Hak Waris

Ketika seorang anak memutuskan untuk berpindah agama, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah hal tersebut akan berdampak pada hak warisnya. Undang-Undang Perlindungan Anak menjamin setiap anak memiliki kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, bagaimana jika sang anak kemudian berubah keyakinan? Artikel ini akan mengeksplorasi lebih lanjut mengenai dampak perubahan agama anak terhadap hak warisnya, baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Warisan yang Adil Tanpa Memandang Perbedaan Agama

Warisan Berdasarkan KUH Perdata

Dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dinyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi setelah kematian seseorang, dan pewarisan ini didasarkan pada hubungan darah. Dengan kata lain, ahli waris yang sah adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, baik itu anak sah, anak di luar nikah, serta suami atau istri yang masih hidup. Pembagian harta menurut KUH Perdata tidak membedakan gender, baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan bagian yang sama, dan aturan ini juga tidak mempersoalkan perbedaan agama antara ahli waris dan pewaris.Hal ini berarti bahwa meskipun seorang anak memutuskan untuk berpindah agama, dia tetap berhak atas warisan dari pewaris yang beragama lain. Selama hubungan darah masih terjaga, hak waris anak tersebut tetap terjamin.

Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Berbeda dengan KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam (KHI) memiliki aturan yang lebih spesifik terkait hak waris. Menurut Pasal 171 huruf C dari KHI, ahli waris adalah orang yang memiliki hubungan darah atau ikatan perkawinan dengan pewaris, memeluk agama Islam, dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris.Ini berarti jika seorang anak yang awalnya beragama Islam kemudian pindah agama, maka dia tidak lagi berhak atas warisan dari pewaris yang beragama Islam. Namun, Pasal 209 KHI memberikan ruang melalui konsep Wasiat Wajibah, yang memungkinkan anak angkat mendapatkan bagian warisan, meskipun besarannya tidak boleh lebih dari sepertiga harta pewaris.Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 16 K/AG/2010 tertanggal 30 April 2010, seorang istri yang berbeda agama (non-Muslim) dan telah menikah selama 18 tahun dengan pewaris juga berhak menerima warisan melalui lembaga Wasiat Wajibah.

Menjaga Keharmonisan Keluarga

Perubahan agama anak memang dapat menjadi isu sensitif dalam keluarga, terutama jika berkaitan dengan hak waris. Namun, baik KUH Perdata maupun KHI telah menyediakan aturan-aturan yang adil dan dapat menjaga keharmonisan keluarga.Meskipun anak yang berpindah agama tidak lagi berhak atas warisan dari pewaris yang beragama Islam, konsep Wasiat Wajibah memberikan jalan keluar untuk tetap memberikan bagian warisan kepada anak tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia berusaha untuk menjaga keadilan dan keharmonisan dalam keluarga, terlepas dari perbedaan agama yang mungkin terjadi.Pada akhirnya, perubahan agama anak tidak harus menjadi penghalang bagi hak warisnya. Dengan pemahaman yang baik terhadap aturan hukum yang berlaku, serta sikap saling menghargai dan memahami di antara anggota keluarga, permasalahan terkait warisan dapat diselesaikan dengan bijaksana.